Minggu, 21 Oktober 2012

BASEL


BASEL I
Basel I adalah suatu istilah yang merujuk pada serangkaian kebijakan bank sentral dari seluruh dunia yang diterbitkan oleh Komite Basel pada tahun 1988 di Basel, Swiss sebagai suatu himpunan persyaratan minimum modal untuk bank. Rekomendasi ini dikukuhkan dalam bentuk aturan oleh negara-negara Group of Ten (G10) pada tahun 1992. Basel I secara umum telah ditinggalkan dan digantikan oleh himpunan pedoman yang lebih komprehensif, yang disebut Basel II, yang sedang diterapkan oleh beberapa negara.

BASEL II
Basel II adalah rekomendasi hukum dan ketentuan perbankan kedua, sebagai penyempurnaan Basel I, yang diterbitkan oleh Komite Basel. Rekomendasi ini ditujukan untuk menciptakan suatu standar internasional yang dapat digunakan regulator perbankan untuk membuat ketentuan berapa banyak modal yang harus disisihkan bank sebagai perlindungan terhadap risiko keuangan danoperasional yang mungkin dihadapi bank.
Pendukung Basel II percaya bahwa standar internasional seperti ini dapat membantu melindungi sistem keuangan internasional terhadap masalah yang mungkin timbul sewaktu runtuhnya bank-bank utama atau serangkaian bank. Dalam praktiknya, Basel II berupaya mencapai hal ini dengan menyiapkan persyaratan manajemen risiko dan modal yang ketat yang dirancang untuk meyakinkan bahwa suatu bank memiliki cadangan modal yang cukup untuk risiko yang dihadapinya karena praktik pemberian kredit dan investasi yang dilakukannya. Secara umum, aturan-aturan ini menegaskan bahwa semakin besar risiko yang dihadapi bank, semakin besar pula jumlah modal yang dibutuhkan bank untuk menjaga likuiditas bank tersebut serta stabilitas ekonomi pada umumnya.
Basel II mengusung konsep "tiga pilar" yaitu persyaratan modal minimum, tinjauan pengawasan, serta pengungkapan informasi. Basel I sebelumnya hanya memperhatikan sebagian dari masing-masing pilar ini. Misalnya, Basel I hanya memperhitungkan risiko kredit secara sederhana, mempertimbangkan sedikit risiko pasar, serta sama sekali tidak menangani risiko operasional.
Pilar pertama berkaitan dengan pemeliharaan persyaratan modal (regulatory capital) yang diperhitungkan untuk tiga komponen utama risiko yang dihadapi bank: risiko kredit, risiko pasar, serta risiko operasional. Jenis risiko lain tidak dianggap layak diperhitungkan pada tahap ini.
Risiko kredit dapat dihitung dengan tiga cara yang berbeda tingkat kerumitannya, yaitu pendekatan standar (standardized approach), Foundation IRB (internal rating-based), dan Advanced IRB. Risiko operasional dihitung dengan tiga pendekatan yaitu pendekatan dasar (basic indicator approach, BIA), pendekatan standar (standardized approach, STA), serta advanced measurement approach (AMA). Sedangkan pendekatan yang biasanya dipilih untuk perhitungan risiko pasar adalah pendekatan VaR (value at risk).
Pilar kedua menangani tanggapan pengawasan terhadap pilar pertama yang memberikan perkakas lanjut bagi pengawas. Pilar ini juga memberikan suatu kerangka kerja untuk menangani semua risiko lain yang mungkin dihadapi bank, seperti risiko sistemikrisiko pensiunrisiko konsentrasirisiko strategikrisiko reputasirisiko likuiditas, serta risiko hukum, yang digabungkan menjadirisiko residu.
Pilar ketiga memperbesar pengungkapan yang harus dilakukan bank. Ini dirancang untuk memberikan gambaran yang lebih baik bagi pasar mengenai posisi risiko menyeluruh bank dan untuk memberikan kesempatan bagi pihak terkait dari bank untuk memberikan harga dan menangani risiko tersebut dengan sepantasnya.

BASEL III

Dalam Basel III, perbankan diharuskan mencadangkan modal berkualitas tinggi (core tier-1) sebesar 4,5% dari asetnya. Peraturan ini berlaku Januari 2015. Ditambah 2,5% modal bantalan, jika terjadi guncangan, sehingga menjadi 7% pada 2016. Eko B. Supriyanto

Tujuan pembentukan Basel III yaitu untuk memperkuat peraturan, pengawasan, dan manajemen risiko melalui kaji ulang pengukuran yang lebih komprehensif dalam sektor perbankan. Dengan begitu diharapkan dapat lebih meningkatkan kemampuan bank dalam menghadapi guncangan yang timbul dari tekanan sektor keuangan dan ekonomi.

Perbankan Indonesia sepertinya memasuki lorong konsolidasi yang tiada henti-hentinya. Sejak 1988, terutama sejak krisis perbankan 1998, perbankan kita terus memasuki masa-masa konsolidasi.

Sepuluh tahun kemudian, belajar dari krisis global 2008, perbankan Indonesia mau tidak mau ikut menyesuaikan diri dengan kebijakan baru, yaitu lahirnya Basel III menyusul Basel II dan Basel I yang telah ada sebelumnya.

Kebijakan Basel Committee on Banking Supervision tahap ketiga (Basel III) yang diusulkan para pemimpin 19 negara maju dan berkembang ditambah Uni Eropa (G-20) ini tentu akan membuat industri perbankan global berubah. Sebab, inti dari kebijakan Basel III ini tak lain, bank-bank harus memperkuat permodalan dan menjaga likuiditasnya.

Dalam perjalanan menyangkut permodalan yang tertuang dalam Basel, bisa dilacak, sejak 1988 Bank for International Settlements (BIS) mengeluarkan konsep kerangka permodalan yang lebih dikenal dengan sebutan The 1988 Accord (Basel I).

Sistem ini dibuat sebagai penerapan pengurangan risiko kredit dengan syarat capital adequacy ratio (CAR) tidak boleh kurang dari 8%. Atau, dengan bahasa sederhana, bank-bank diharapkan memisahkan eksposurnya.

Sejalan dengan berkembangnya produk-produk perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka permodalan yang ada pada 1988 dengan Basel II Accord-nya.

Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar Basel I yang memberikan kerangka penghitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive). Tidak hanya itu, tapi juga memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas manajemen risiko di bank.

Kerangka Basel II ini mencoba mendekatkan dua kepentingan, yaitu ketentuan permodalan yang ditetapkan oleh otoritas pengawasan (regulatory capital) dengan penghitungan permodalan secara ekonomi (economic capital). Penerapan Basel II ini diharapkan akan selesai pada 2012.

Nah, sebelum 2012, krisis telah mengacaukan perbankan dunia. Bank-bank kembali dibelokkan arahnya. Bank-bank harus kembali ke “khitah”-nya dengan memberikan kredit yang didukung modal dan likuiditas yang memadai. Semua ini masuk dalam konsolidasi di Basel III.

Dalam Basel III, perbankan diharuskan mencadangkan modal berkualitas tinggi (core tier-1) sebesar 4,5% dari asetnya. Peraturan ini berlaku Januari 2015. Ditambah 2,5% modal bantalan, jika terjadi guncangan, sehingga menjadi 7% pada 2016. Selain itu, masih ditambah dengan modal bantalan dengan kisaran hingga 2,5% pada 2019.

Pendek kata, kesepakatan ini merupakan usaha untuk memperkuat standar modal perbankan dunia. Dengan kesepakatan tersebut, perbankan akan diharapkan menjalankan bisnisnya secara hati-hati dan tak berisiko tinggi sehingga terhindar dari krisis ekonomi yang bisa terjadi kapan saja. Dalam pemberian kredit, bank-bank diharapkan senantiasa didukung oleh modal inti yang kuat.

Nah, jika melihat kesiapan yang didasarkan pada angka-angka, setidaknya perbankan masih relatif aman. Hanya Badan Moneter Internasional (International Monetary Fund atau IMF) yang memperkirakan perbankan akan ambruk dengan non performing loan(NPL) sebesar 31,5% pada kuartal pertama 2011.

Perkiraan IMF itu sungguh tidak masuk akal dan perlu dicurigai mempunyai agenda karena metodologinya sudah cacat dengan memperkirakan NPL perbankan bakal ambruk. 

Perbankan Indonesia diperkirakan relatif masih bisa menyesuaikan dengan Basel III karena modal inti perbankan Indonesia masih dalam kisaran 13%-14% atau masih dalam posisi jauh lebih aman.

Kendati demikian, masih tetap diperlukan kehati-hatian, terutama menyangkut potensi pemburukan ekonomi global, meskipun melihat pengalaman krisis 2008, ekonomi Indonesia masih relatif aman.

Basel III ini boleh jadi merupakan koreksi dari kondisi perbankan global semata. Perbankan Indonesia setidaknya tidak terpengaruh, kendati bank-bank perlu menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Kebijakan kredit perbankan pun lebih hati-hati dengan modal yang memadai.

Untuk itu, ekspansi kredit perbankan tidak bisa dipaksa-paksa. Hari-hari ini bank-bank di Indonesia terkena tekanan untuk melakukan ekspansi kredit dan ikut menjaga ekses likuiditas.

Hal itu terkait dengan kebijakan kenaikan giro wajib minimum (GWM) primer menjadi 8% yang dihubungkan dengan loan to deposit ratio (LDR) ideal 78%-100%.

Kebijakan itu ditanggapi secara beragam oleh kalangan perbankan. Ada yang menyebut, di satu sisi Bank Indonesia (BI) ingin mendorong pertumbuhan kredit dan di sisi lain BI ingin mengerem likuiditas akibat tekanan inflasi yang bisa berakibat buruk bagi stabilitas moneter.

Bank-bank dengan LDR rendah tentu merasa terkena dampak kebijakan ini. Selain harus meningkatkan biaya dana-dana (cost of funds), mereka harus menyediakan dana tambahan. Bank-bank besar, seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Mandiri, juga terkena dampak kebijakan ini.

Sementara, yang LDR-nya sudah tinggi setidaknya lebih diuntungkan. Namun, mereka akan menghadapi persaingan yang lebih ketat karena bank-bank besar tentu tidak mau kehilangan keuntungan—dengan demikian suku bunga juga akan mendaki.

Kebijakan GWM dan LDR ini sebenarnya lebih banyak untuk kepentingan BI, terutama menyangkut biaya moneter yang terlewat besar dengan BI Rate 6,5%, yang masih tetap gurih bagi bank-bank. 

Terlepas dari masalah itu, apakah saat ini perbankan sedang ekspansi atau konsolidasi, boleh jadi kita perlu merenungkan ucapan seorang bankir senior. Menurut dia, sejatinya sejak 1988 perbankan nasional selalu melakukan konsolidasi. Lepas dari konsolidasi yang satu, masuk ke konsolidasi yang baru. Ibaratnya, konsolidasi tiada akhir.


Nama   : Prisca Natalia VS
Npm    :21209882
Kelas   : 4EB04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar