BASEL I
Basel I adalah suatu istilah yang merujuk pada serangkaian kebijakan bank sentral dari seluruh dunia yang diterbitkan oleh Komite Basel pada tahun 1988 di Basel, Swiss sebagai suatu himpunan persyaratan minimum modal untuk bank. Rekomendasi ini dikukuhkan dalam bentuk aturan oleh
negara-negara Group of Ten (G10) pada tahun 1992. Basel I secara umum telah ditinggalkan dan digantikan oleh
himpunan pedoman yang lebih komprehensif, yang disebut Basel II, yang sedang diterapkan oleh beberapa negara.
BASEL
II
Basel
II adalah rekomendasi hukum dan ketentuan perbankan kedua,
sebagai penyempurnaan Basel I, yang diterbitkan oleh Komite Basel. Rekomendasi ini ditujukan untuk menciptakan
suatu standar internasional yang dapat digunakan regulator perbankan untuk
membuat ketentuan berapa banyak modal yang
harus disisihkan bank sebagai perlindungan terhadap risiko keuangan danoperasional yang
mungkin dihadapi bank.
Pendukung Basel II
percaya bahwa standar internasional seperti ini dapat membantu melindungi
sistem keuangan internasional terhadap masalah yang mungkin timbul sewaktu
runtuhnya bank-bank utama atau serangkaian bank. Dalam praktiknya, Basel II
berupaya mencapai hal ini dengan menyiapkan persyaratan manajemen risiko dan modal yang ketat yang dirancang
untuk meyakinkan bahwa suatu bank memiliki cadangan modal yang
cukup untuk risiko yang dihadapinya karena praktik pemberian kredit dan investasi yang dilakukannya. Secara umum, aturan-aturan
ini menegaskan bahwa semakin besar risiko yang dihadapi bank, semakin besar
pula jumlah modal yang dibutuhkan bank untuk menjaga likuiditas bank tersebut serta stabilitas ekonomi pada
umumnya.
Basel
II mengusung konsep "tiga pilar" yaitu persyaratan modal minimum, tinjauan pengawasan, serta
pengungkapan informasi. Basel I sebelumnya hanya
memperhatikan sebagian dari masing-masing pilar ini. Misalnya, Basel I hanya
memperhitungkan risiko kredit secara sederhana,
mempertimbangkan sedikit risiko pasar, serta sama sekali tidak menangani risiko operasional.
Pilar
pertama berkaitan dengan pemeliharaan persyaratan modal (regulatory capital)
yang diperhitungkan untuk tiga komponen utama risiko yang dihadapi bank: risiko
kredit, risiko pasar, serta risiko operasional. Jenis risiko lain
tidak dianggap layak diperhitungkan pada tahap ini.
Risiko
kredit dapat dihitung dengan tiga cara yang berbeda tingkat kerumitannya, yaitu pendekatan standar (standardized
approach), Foundation IRB (internal
rating-based), dan Advanced IRB. Risiko operasional dihitung
dengan tiga pendekatan yaitu pendekatan dasar (basic indicator approach, BIA), pendekatan standar (standardized
approach, STA), serta advanced measurement approach (AMA).
Sedangkan pendekatan yang biasanya dipilih untuk perhitungan risiko pasar
adalah pendekatan VaR (value at risk).
Pilar
kedua menangani tanggapan pengawasan terhadap pilar pertama yang memberikan
perkakas lanjut bagi pengawas. Pilar ini juga memberikan suatu kerangka kerja
untuk menangani semua risiko lain yang mungkin dihadapi bank, seperti risiko sistemik, risiko pensiun, risiko
konsentrasi, risiko strategik, risiko reputasi, risiko likuiditas, serta risiko hukum, yang digabungkan menjadirisiko residu.
Pilar
ketiga memperbesar pengungkapan yang
harus dilakukan bank. Ini dirancang untuk memberikan gambaran yang lebih baik
bagi pasar mengenai posisi risiko menyeluruh bank dan untuk
memberikan kesempatan bagi pihak terkait dari bank untuk memberikan harga dan
menangani risiko tersebut dengan sepantasnya.
BASEL
III
Dalam
Basel III, perbankan diharuskan mencadangkan modal berkualitas tinggi (core
tier-1) sebesar 4,5% dari asetnya. Peraturan ini berlaku Januari 2015. Ditambah
2,5% modal bantalan, jika terjadi guncangan, sehingga menjadi 7% pada 2016. Eko B. Supriyanto
Tujuan pembentukan Basel III yaitu untuk memperkuat
peraturan, pengawasan, dan manajemen risiko melalui kaji ulang pengukuran yang
lebih komprehensif dalam sektor perbankan. Dengan begitu diharapkan dapat lebih
meningkatkan kemampuan bank dalam menghadapi guncangan yang timbul dari tekanan
sektor keuangan dan ekonomi.
Perbankan
Indonesia sepertinya memasuki lorong konsolidasi yang tiada henti-hentinya.
Sejak 1988, terutama sejak krisis perbankan 1998, perbankan kita terus memasuki
masa-masa konsolidasi.
Sepuluh tahun
kemudian, belajar dari krisis global 2008, perbankan Indonesia mau tidak mau
ikut menyesuaikan diri dengan kebijakan baru, yaitu lahirnya Basel III menyusul
Basel II dan Basel I yang telah ada sebelumnya.
Kebijakan
Basel Committee on Banking Supervision tahap ketiga (Basel III) yang diusulkan
para pemimpin 19 negara maju dan berkembang ditambah Uni Eropa (G-20) ini tentu
akan membuat industri perbankan global berubah. Sebab, inti dari kebijakan
Basel III ini tak lain, bank-bank harus memperkuat permodalan dan menjaga
likuiditasnya.
Dalam
perjalanan menyangkut permodalan yang tertuang dalam Basel, bisa dilacak, sejak
1988 Bank for International Settlements (BIS) mengeluarkan konsep kerangka
permodalan yang lebih dikenal dengan sebutan The 1988 Accord (Basel I).
Sistem ini
dibuat sebagai penerapan pengurangan risiko kredit dengan syarat capital adequacy ratio (CAR) tidak boleh kurang dari 8%.
Atau, dengan bahasa sederhana, bank-bank diharapkan memisahkan eksposurnya.
Sejalan dengan
berkembangnya produk-produk perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka
permodalan yang ada pada 1988 dengan Basel II Accord-nya.
Basel II
dibuat berdasarkan struktur dasar Basel I yang memberikan kerangka penghitungan
modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive). Tidak hanya itu, tapi juga memberikan
insentif terhadap peningkatan kualitas manajemen risiko di bank.
Kerangka Basel
II ini mencoba mendekatkan dua kepentingan, yaitu ketentuan permodalan yang
ditetapkan oleh otoritas pengawasan (regulatory capital)
dengan penghitungan permodalan secara ekonomi (economic capital). Penerapan Basel II ini diharapkan
akan selesai pada 2012.
Nah, sebelum 2012, krisis telah mengacaukan
perbankan dunia. Bank-bank kembali dibelokkan arahnya. Bank-bank harus kembali
ke “khitah”-nya dengan memberikan kredit yang didukung modal dan likuiditas
yang memadai. Semua ini masuk dalam konsolidasi di Basel III.
Dalam Basel
III, perbankan diharuskan mencadangkan modal berkualitas tinggi (core tier-1)
sebesar 4,5% dari asetnya. Peraturan ini berlaku Januari 2015. Ditambah 2,5%
modal bantalan, jika terjadi guncangan, sehingga menjadi 7% pada 2016. Selain
itu, masih ditambah dengan modal bantalan dengan kisaran hingga 2,5% pada 2019.
Pendek kata,
kesepakatan ini merupakan usaha untuk memperkuat standar modal perbankan dunia.
Dengan kesepakatan tersebut, perbankan akan diharapkan menjalankan bisnisnya
secara hati-hati dan tak berisiko tinggi sehingga terhindar dari krisis ekonomi
yang bisa terjadi kapan saja. Dalam pemberian kredit, bank-bank diharapkan
senantiasa didukung oleh modal inti yang kuat.
Nah, jika melihat kesiapan yang didasarkan
pada angka-angka, setidaknya perbankan masih relatif aman. Hanya Badan Moneter
Internasional (International Monetary Fund atau IMF) yang memperkirakan
perbankan akan ambruk dengan non performing loan(NPL) sebesar 31,5% pada kuartal
pertama 2011.
Perkiraan IMF
itu sungguh tidak masuk akal dan perlu dicurigai mempunyai agenda karena
metodologinya sudah cacat dengan memperkirakan NPL perbankan bakal
ambruk.
Perbankan
Indonesia diperkirakan relatif masih bisa menyesuaikan dengan Basel III karena
modal inti perbankan Indonesia masih dalam kisaran 13%-14% atau masih dalam
posisi jauh lebih aman.
Kendati
demikian, masih tetap diperlukan kehati-hatian, terutama menyangkut potensi
pemburukan ekonomi global, meskipun melihat pengalaman krisis 2008, ekonomi
Indonesia masih relatif aman.
Basel III ini
boleh jadi merupakan koreksi dari kondisi perbankan global semata. Perbankan
Indonesia setidaknya tidak terpengaruh, kendati bank-bank perlu menyesuaikan
diri dengan perubahan yang ada. Kebijakan kredit perbankan pun lebih hati-hati
dengan modal yang memadai.
Untuk itu,
ekspansi kredit perbankan tidak bisa dipaksa-paksa. Hari-hari ini bank-bank di
Indonesia terkena tekanan untuk melakukan ekspansi kredit dan ikut menjaga
ekses likuiditas.
Hal itu
terkait dengan kebijakan kenaikan giro wajib minimum (GWM) primer menjadi 8%
yang dihubungkan dengan loan to deposit ratio (LDR)
ideal 78%-100%.
Kebijakan itu
ditanggapi secara beragam oleh kalangan perbankan. Ada yang menyebut, di satu
sisi Bank Indonesia (BI) ingin mendorong pertumbuhan kredit dan di sisi lain BI
ingin mengerem likuiditas akibat tekanan inflasi yang bisa berakibat buruk bagi
stabilitas moneter.
Bank-bank
dengan LDR rendah tentu merasa terkena dampak kebijakan ini. Selain harus
meningkatkan biaya dana-dana (cost of funds), mereka harus menyediakan dana
tambahan. Bank-bank besar, seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank
Mandiri, juga terkena dampak kebijakan ini.
Sementara,
yang LDR-nya sudah tinggi setidaknya lebih diuntungkan. Namun, mereka akan
menghadapi persaingan yang lebih ketat karena bank-bank besar tentu tidak mau
kehilangan keuntungan—dengan demikian suku bunga juga akan mendaki.
Kebijakan GWM
dan LDR ini sebenarnya lebih banyak untuk kepentingan BI, terutama menyangkut
biaya moneter yang terlewat besar dengan BI Rate 6,5%, yang masih tetap gurih
bagi bank-bank.
Terlepas dari
masalah itu, apakah saat ini perbankan sedang ekspansi atau konsolidasi, boleh
jadi kita perlu merenungkan ucapan seorang bankir senior. Menurut dia,
sejatinya sejak 1988 perbankan nasional selalu melakukan konsolidasi. Lepas
dari konsolidasi yang satu, masuk ke konsolidasi yang baru. Ibaratnya,
konsolidasi tiada akhir.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Basel_I,
http://id.wikipedia.org/wiki/Basel_II,
http://www.infobanknews.com/2011/02/perbedaan-basel-ii-dan-basel-iii/,
http://www.infobanknews.com/2010/10/basel-iii-konsolidasi-perbankan-tiada-akhir/
Nama : Prisca
Natalia VS
Npm :21209882
Kelas : 4EB04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar