Rabu, 31 Oktober 2012

IFRS merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh International Accounting Standard Board (IASB).


Standar Akuntansi Internasional (International Accounting Standards/IAS) disusun oleh empat organisasi utama dunia yaitu Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB), Komisi Masyarakat Eropa (EC), Organisasi Internasional Pasar Modal (IOSOC), dan Federasi Akuntansi Internasioanal (IFAC). 
Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB) yang dahulu bernama Komisi Standar Akuntansi Internasional (AISC), merupakan lembaga independen untuk menyusun standar akuntansi. Organisasi ini memiliki tujuan mengembangkan dan mendorong penggunaan standar akuntansi global yang berkualitas tinggi, dapat dipahami dan dapat diperbandingkan.
Pada tahun 2012, pencatatan keuangan di Indonesia akan berdasarkan pada International Finance Reporting Standard (IFRS). IFRS merupakan standar pencatatan dan pelaporan akuntansi yang berlaku secara internasional yang dikeluarkan oleh International Accounting Standard Boards (IASB), sebuah lembaga internasional yang bertujuan untuk mengembangkan suatu standar akuntansi yang tinggi, dapat dimengerti, diterapkan, dan diterima secara internasional.
Demikian disampaikan oleh Rudy Suryanto, SE, M.Acc, Akt selaku dosen program studi Akuntansi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam sebuah diskusi terbatas terkait dengan rencana penerapan IFRS di Indonesia bertempat di kampus terpadu UMY, Kamis (22/4).
Menurut Rudy tujuan dari diterapkannya IFRS dalam pencatatan keuangan di Indonesia adalah untuk memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunanaan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikenal secara internasional. Selain itu, IFRS juga bertujuan untuk meningkatkan arus investasi global melalui transparansi serta menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan. “Berdasarkan manfaat-manfaat tersebut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) dan pihak-pihak lain yang terkait sepakat untuk melakukan adopsi IFRS kedalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuanngan (PSAK)” ungkapnya.
Saat ini IFRS telah digunakan lebih dari 100 negara, berlaku untuk semua negara di Uni Eropa pada tahun 2005. Brasil, Kanada dan India telah mengumumkan kewajiban untuk menggunakan IFRS bagi perusahaan-perusahaan yang berlokasi di negara tersebut. Pada tahun 2011 diperkirakan semua negara besar sudah mengadopsi IFRS dengan berbagai variasinya, China dan Jepang secara substansi akan menyesuaiakan dengan IFRS dan perusahaan go public di Amerika Serikat akan mempunyai pilihan apakan menggunakan IFRS atau US GAAP.
”Sebenarnya penerapan IFRS di Indonesia telah dimulai secara bertahap sejak tahun 2007, namun akan diterapkan penuh tahun 2012 mendatang,”ungkap Rudi. Sedangkan untuk standar pencatatan keuangan yang tidak ada di atur dalam IFRS seperti akuntansi syariah, akuntansi untuk UKM dan akuntansi untuk organisasi nirlaba akan dikembangkan sendiri oleh IAI.
Di lain sisi, Rudi melihat penerapan IFRS tahun 2012 mendatang ini juga akan berdampak pada pembelajaran pada program studi Akuntansi di Indonesia. Rudi melihat banyak hal yang harus dipersiapkan. Salah satunya adalah mempersiapkan buku teks yang mendukung. Karena saat ini banyak buku pencatatan keuangan yang belum sesuai dengan IFRS. Selain itu, penerapan IFRS ini juga berdampak pada perubahan materi kuliah di prodi akuntansi. Salah satunya adalah perubahan mata kuliah. Materi mata kuliah akuntansi internasional yang biasanya membandingkan praktek akuntansi di berbagai negara harus di ubah menjadi membahas mengenai IFRS, serta up date perubahan PSAK dari waktu ke waktu. “Karena dengan semakin banyak negara yg mengadopsi IFRS, maka perbedaan akan semakin terbatas”tandasnya. referensi : Jumat, 23 April 2010 Oleh: Humas
Penerapan IFRS Efisienkan Penyusunan Laporan Keuangan
Medan (ANTARA News) – Direktur Teknis Ikatan Akuntan Indonesia Ersa Tri Wahyuni menilai, penerapan standar laporan akuntansi internasional atau IFRS ke dalam pernyataan standar akutansi keuangan bermanfaat menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
“Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari konvergensi IFRS (International Financial Reporting Standard) ke dalam PSAK (Pernyataan Standar Akutansi Keuangan), di antaranya menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan,” katanya di Medan, Rabu.
Ersa menyatakan hal itu dalam seminar nasional bertajuk Perkembangan Standar Akuntansi Indonesia dan Dampaknya terhadap Bisnis yang digelar seusai pelantikan pengurus Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Wilayah Sumatera Utara periode 2011-2015 yang diketuai Gus Irawan.
Manfaat lain dari konvergensi IFRS ke dalam PSAK, yakni memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan standar akutansi keuangan yang dikenal secara internasional.
Selain itu, lanjut dia, penerapan IFRS ke dalam PSAK juga efektif menurunkan biaya modal dengan membuka “fund raising” melalui pasar modal secara global.
Bila Indonesia kelak sudah secara penuh mengadopsi IFRS, dia memperkirakan kualitas informasi laporan keuangan di negara ini akan meningkat, termasuk kualitas laporan keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Disebutkannya, Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI) telah memulai proses konvergensi itu sejak 2009 dan diharapkan selesai sebelum awal tahun 2012.
Sasaran konvergensi IFRS tahun 2012 adalah merevisi PSAK agar secara material sesuai dengan IFRS versi 1 Januari 2009 yang berlaku efektif 1 Januari 2012.
“IFRS bukan hanya merubah cara perusahaan membuat laporan keuangan, tetapi juga merubah bagaimana perusahaan menjalankan bisnisnya,” paparnya.
Untuk menyahuti tuntutan konvergensi IFRS ke dalam PSAK tersebut mutlak dibutuhkan kesiapan dari para praktisi, antara lain akuntan manajemen, akuntan publik, akuntan akademisi dan kesiapan para regulator maupun profesi pendukung lain, seperti penilai dan aktuaris.
Menurut dia, penerapan PSAK berbasis IFRS akan berdampak besar bagi dunia usaha, terutama pada sisi pengambilan kebijakan perusahaan yang didasarkan kepada data-data akuntansi.
Selain berdampak pada sisi akuntansi dan pelaporan keuangan perusahaan, katanya, konvegensi IFRS juga berdampak pada sistem informasi teknologi perusahaan, sumber daya manusia yang terlibat di perusahaan dan berdampak pada sistem organisasi perusahaan.
Untuk memperlancar proses adopsi PSAK, lanjut Ersa, keberhasilan masa transisi adalah kunci utamanya.
Terkait dengan perubahan standar akuntansi keuangan itu, katanya, langkah efektif yang perlu dilakukan perusahaan selama masa transisi adalah membentuk tim adhoc konvergensi IFRS yang bertanggung jawab untuk melakukan persiapan awal dan mengorganisasikan sumber daya.
“Suksesnya penerapan standar akuntansi internasional dalam suatu negara, tidak lepas dari peran pasar modal, otoritas perpajakan dan regulator lainnya,” ujar Ersa.
ikatakan, IFRS kini sudah banyak diadopsi PSAK sejumlah negara guna menjawab permintaan investor institusional dan pengguna laporan keuangan lainnya.
Ikatan Akuntan Indonesia pada 23 Desember 2008 telah mendeklarasikan rencana Indonesia untuk melakukan konvergensi IFRS ke dalam PSAK. (ANT197/M034/K004)
Beberapa Perbedaan PSAK dan IFRS adalah sebagai berikut:
PSAK mengkombinasikan basis prinsip dan basis aturan sedangkan IFRS berbasis prinsip saja;
Jika nilai historis lebih rendah maka disajikan sebesar nilai historis, sedangkan IFRS nilai historis tetap dipergunakan;
IFRS ada kecenderungan penyajian nilai harta dan kewajiban sebesar nilai wajar;
IFRS menyajikan perbandingan nilai wajar dengan historis;
Pada IFRS ada perubahan istilah dan komponen laporan keuangan;
Penggunaan profesional Judgment.
Editor: B Kunto Wibisono
referensi : Kamis, 21 Juli 2011 01:40 WIB | 3113 Views
Indonesia memutuskan untuk berkiblat pada Standar Pelaporan Keuangan Internasional atau IFRS.
Batas waktu yang ditetapkan bagi seluruh entitas bisnis dan pemerintah untuk menggunakan IFRS adalah 1 Januari 2012.
”Semua persiapan ke arah sana harus diselesaikan karena ini akan dimulai pada 1 Januari 2012. Coba dilihat dampak pada biayanya karena pengalihan standar akan menyebabkan timbulnya ongkos tambahan,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Rabu (5/5), saat menjadi pembicara kunci dalam seminar ”IFRS, Penerapan dan Aspek Perpajakannya”.
Menurut Sri Mulyani, konvergensi akuntansi Indonesia ke IFRS perlu didukung agar Indonesia mendapatkan pengakuan maksimal dari komunitas internasional yang sudah lama menganut standar ini.
”Kalau standar itu dibutuhkan dan akan meningkatkan posisi Indonesia sebagai negara yang bisa dipercaya di dunia dengan tata kelola dan pertanggungjawaban kepada rakyat dengan lebih baik dan konsisten, tentu itu perlu dilakukan,” ujarnya.
Selain IFRS, kutub standar akuntansi yang berlaku di dunia saat ini adalah United States General Accepted Accounting Principles (US GAAP).
Negara-negara yang tergabung di Uni Eropa, termasuk Inggris, menggunakan International Accounting Standard (IAS) dan International Accounting Standard Board (IASB).
Setelah berkiblat ke Belanda, belakangan Indonesia menggunakan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Mula-mula PSAK IAI berkiblat ke Amerika Serikat dan nanti mulai tahun 2012 beralih ke IFRS.
Tujuh Manfaat Penerapan IFRS
Ketua Tim Implementasi IFRS-Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Dudi M Kurniawan mengatakan, dengan mengadopsi IFRS, Indonesia akan mendapatkan tujuh manfaat sekaligus.
Pertama, meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan (SAK).
Kedua, mengurangi biaya SAK.
Ketiga, meningkatkan kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan.
Keempat, meningkatkan komparabilitas pelaporan keuangan.
Kelima, meningkatkan transparansi keuangan.
Keenam, menurunkan biaya modal dengan membuka peluang penghimpunan dana melalui pasar modal.
Ketujuh, meningkatkan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
”Pengalaman di Eropa, ada beberapa masalah yang muncul dalam implementasi IFRS, antara lain perencanaan waktu yang kurang matang dan kurangnya dukungan dari manajemen puncak,” tuturnya.
Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Etty Retno Wulandari mengatakan, Indonesia perlu mengadopsi IFRS karena sebagian besar negara di dunia sudah menganut standar akuntansi itu.
Dengan demikian, IFRS dapat meningkatkan perlindungan kepada investor pasar modal. ”Bapepam mewajibkan emiten dan perusahaan publik menyampaikan laporan keuangan ke Bapepam dan menyediakannya pada masyarakat. Laporan tersebut harus disajikan dengan standar akuntansi yang berkualitas tinggi,” ungkapnya.
Recomended Training: International Financial Reporting Standard (IFRS): membahas Concept, Implementaion dan Penyesuaian/Perbandingan IFRS dengan PSAK


Nama : Prisca Natalia VS
Npm : 21209882
Kelas : 4EB04

CGPI (Corporate Governance Preception Index)

Penerapan corporate governance dilakukan oleh Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG) berupaCorporate Governance Perception Index (CGPI) yang berisikan skor berupa angka mulai dari 0 sampai 100 yang merupakan hasil survey mengenai penerapan good corporate governance pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. CGPI merupakan program riset dan pemeringkatan penerapan good corporate governance di Indonesia pada perusahaan publik. Program ini dilaksanakan sejak tahun 2001 dilandasi dengan pemikiran pentingnya mengetahui sejauh mana perusahaan-perusahaan tersebut telah menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance.


Nama : Prisca Natalia VS
Npm : 21209882
Kelas :4EB04

GCG (Good Corporate Governance)


Pengertian Good Corporate Governance
Sebagai sebuah konsep, Good Corporate Governance ternyata tidak memiliki definisi tunggal. Pada tahun 1992, Komite Cadbury melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadbury Report, mengeluarkan definisi tentang Good Corporate Governance. Menurut Komite Cadbury, Good Corporate Governance adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya, dan stakeholder pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, Manajer, Pemagang Saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.
Centre for European Policy Studies (CEPS), mempunyai formula lain, bahwa Good Corporate Governance merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses, serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. Sebagai catatan, hak di sini adalah hak seluruh stakeholder, bukan terbatas kepada shareholder saja. Hak adalah berbagai kekuatan yang dimiliki stakeholder secara individual untuk mempengaruhi manajemen. Proses, maksudnya adalah mekanisme dari hak-hak tersebut. Adapun pengendalian merupakan mekanisme yang memungkinkan stakeholder menerima informasi yang diperlukan seputar kegiatan perusahaan.
Seorang pakar Good Corporate Governance dari Indo Consult yang bernama Noensi, mendefinisikan bahwa Good Corporate Governance patuh menjalankan dan mengembangkan perusahaan yang bersih, patuh pada hukum yang berlaku dan peduli terhadap lingkungan yang dilandasi nilai-nilai sosial budaya yang tinggi. 
            Ada berbagai pengertian Good Corporate Governance yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Corporate governance merupakan seperangkat tata hubungan diantara manajemen perseroan, direksi, komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya. (OECD dalam Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata, 2007:17)
b.      Corporate governance sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain. (IICG dalam G. Suprayitno, et all, 2004:18)
c.       Corporate governance adalah suatu konsep yang menyangkut struktur perseroan, pembagian tugas, pembagian kewenangan dan pembagian beban tanggung jawab dari masing-masing unsur yang membentuk struktur perseroan, dan mekanisme yang harus ditempuh oleh masing-masing unsur dari perseroan tersebut, serta hubungan-hubungan antara unsur-unsur dari struktur perseroan itu mulai dari RUPS, direksi, komisaris, juga mengatur hubungan-hubungan antara unsur-unsur dari struktur perseroan dengan unsur-unsur di luar perseroan yang pada hakekatnya merupakan stakeholders dari perseroan, yaitu negara yang sangat berkepentingan akan perolehan pajak dari perseroan yang bersangkutan, dan masyarakat luas yang meliputi para investor publik dari perseroan itu (dalam hal perseroan merupakan perusahaan publik), calon investor, kreditor dan calon kreditor perseroan. Corporate governance adalah suatu konsep yang luas. (Sutan Remy Sjahdeini, 1999:1)
d.       Good Corporate Governance adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). (Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum).
e.       Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia, penerapan praktik Good Corporate Governance dipertegas dengan keluarnya Keputusan Menteri BUMN Nomor kep-117/M-MBU/2002 pasal 1 tentang penerapan praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pengertian Corporate Governance berdasarkan berdasarkan keputusan ini adalah :
“Sesuatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang lainnya berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.”
Berdasarkan uraian mengenai corporate governance tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance adalah suatu sistem pengelolaan perusahaan yang dirancang untuk meningkatkan kinerja perusahaan, melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika yang berlaku secara umum.
Good Corporate Governance (GCG) tidak lain pengelolaan bisnis yang melibatkan kepentingan stakeholders serta penggunaan sumber daya berprinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Hal tersebut, dalam keberadaannya penting dikarenakan dua hal. Hal yang pertama, cepatnya perubahan lingkungan yang berdampak pada peta persaingan global. Sedangkan sebab kedua karena semakin banyak dan kompleksitas stakeholders termasuk struktur kepemilikan bisnis. Dua hal telah dikemukakan, menimbulkan: turbulensi, stres, risiko terhadap bisnis yang menuntut antisipasi peluang dan ancaman dalam strategi termasuk sistem pengendalian yang prima. Good Corporate Governance tercipta apabila terjadi keseimbangan kepentingan antara semua pihak yang berkepentingan dengan bisnis kita. Identifikasi keseimbangan dalam keberadaannya memerlukan sebuah sistem pengukuran yang dapat menyerap setiap dimensi strategis dan operasional bisnis serta berbasis informasi. Sistem pengukuran tersebut, tidak lain konsep BSC. BSC mampu mengukur kinerja komprehensif dan mengakomodasikan kepentingan internal bersama kepentingan eksternal bisnis.
Penerapan Good Corporate Governance di Indonesia khususnya bagi perusahaan publik belum begitu berjalan dengan mulus. Kenyataannya Good Corporate Governance belum diterapkan sepenuhnya hingga saat ini. Memang harus diakui bahwa belum semua perusahaan BUMN atau perusahaan swasta, khususnya perusahaan publik melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance secara sempurna. Hal ini dikarenakan Pedoman Good Corporate Governance ini hanya dalam bentuk rekomendasi dan belum sepenuhnya ketentuan Good Corporate Governance diadopsi ke dalam peraturan-peraturan perundangan yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Sehingga banyak perusahaan merasa enggan untuk menerapkan Good Corporate Governance secara utuh.
Diakui ataupun tidak, penerapan Good Corporate Governance di Indonesia merupakan hal yang sangat vital, karena dapat membantu perusahaan keluar dari krisis ekonomi dan bermanfaat bagi perusahaan-perusahaan Indonesia yang harus menghadapi arus globalisasi, mengikuti perkembangan ekonomi global dan pasar dunia yang kompetitif.
           
Wilayah Permasalahan Penerapan Good Corporate Governance yang Berkaitan dengan Pemegang Saham :
a. Masalah Corporate Governance
Dipisahkannya pemilikan dari pengelolahan perusahaan menimbulkan masalah corporate governance. Apabila manager yang digaji dipisahkan dari pemegang saham yang terpencar, timbullah kemungkinan bahwa perusahaan dikelola tidak sesuai dengan kepentingan para pemegang saham.
b. Struktur Kepemilikan yang Beraneka Ragam
Pemilikan bias terkonsentrasi ataupun tersebar antara banyak pemilik. Tingkat konsentrasi dan komposisi kepemilikan menentukan distribusi kekuasaan perusahaan antara manajer dan pemegang saham, yang pada dirinya akan mempengaruhi sifat pengambilan keputusan yang berpengaruh pada perkembangan perusahaan.
c. Pengawasan dari Pemegang Saham
Jika manajemen terpisah dari pemilik, akan timbul permasalahan tentang bagaimana pemegang saham dapat secara efektif memonitor pengurusan perusahaan, sehingga pengelolaan dilaksanajan sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Untuk itu dilahirkan lembaga Komisaris, partisipasi pemegang saham melalui RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), peran menentukan kompensasi Direksi yang dikaitan dengan kinerja, perlindungan hukum, transparansi, dan kewajiban disclosure, termasuk dalam hal ini adalah mengenai hak pemegang saham minoritas

Ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam Good Corporate Governance, yaitu sebagai berikut:
1.      Transparency (Keterbukaan Informasi)
Penyediaan informasi yang memadai, akurat, dan tepat waktu kepada stakeholders harus dilakukan oleh perusahaan agar dapat dikatakan transparan. Pengungkapan yang memadai sangat diperlukan oleh investor dalam kemampuannya untuk membuat keputusan terhadap resiko dan keuntungan dari investasinya. Pengungkapan masalah yang khusus berhubungan dengan kompleksnya organisasi dari konglomerat. Kurangnya pernyataan keuangan yang menyeluruh menyulitkan pihak luar untuk menentukan apakah perusahaan tersebut memiliki utang yang menumpuk dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Kurangnya informasi akan membatasi kemampuan investor untuk memperkirakan nilai dan resiko dan pertambahan dari perubahan modal (volatility of capital).
Intinya, perusahaan harus meningkatkan kualitas, kuantitas, dan frekuensi dari pelaporan keuangan. Pengurangan dari kegiatan curang seperti manupulasi laporan (creative accounting), pengakuan pajak yang salah dan penerapan dari prinsip-prinsip pelaporan yang cacat, kesemuanya adalah masalah krusial untuk meyakinkan bahwa pengelolaan perusahaan dapat dipertahankan (sustainable). Pelaksanaan menyeluruh dengan syarat-syarat pemeriksaan dan pelaporan yang sesuai hukum akan meningkatkan kejujuran dan pengungkapan (disclosure).
2.      Accountability (Akuntabilitas)
Banyak perusahaan di Asia dikontrol oleh kelompok kecil pemegang saham atau oleh pemilik keluarga (family-owned). Hal ini menimbulkan masalah dalam mempertahankan objektivitas dan pengungkapan yang memadai (adequate disclosure).
Sepertinya pengelolaan perusahaan didasarkan pada pembagian kekuasaan di antara manajer perusahaan, yang bertanggung jawab pada pengoperasian setiap harinya, dan pemegang sahamnya yang diwakili oleh dewan direksinya. Dewan direksi diharapkan untuk menetapkan kesalahan (oversight) dan pengawasan. Di banyak perusahaan, manajemen perusahaan duduk dalam dewan pengurus, sehingga terdapat kurangnya accountability dan berpotensi untuk timbulnya konflik kepentingan. Komplikasi tambahan adalah berulangnya kesenjangan (lack) dalam laporan komisi pemeriksaan keuangan (audit committee reporting) kepada dewan dan lemah atau tidak efektifnya system control internal. Dalam kasus demikian, hasil akhirnya (net result) adalah seperti integritas manajemen yang rendah, etika bisnis yang buruk dan aturan kekuatan daripada aturan hukum.
3.      Fairness (Kejujuran)
Prinsip ketiga dari pengelolaan perusahaan penekanan pada kejujuran, terutama untuk pemegang saham minoritas. Investor harus memiliki hak-hak yang jelas tentang kepemilikan dan sistem dari aturan dan hukum yang dijalankan untuk melindungi hak-haknya. 
4.      Responsibility (Pertanggung jawaban)
Ketika perusahaan Negara (corporation) exist dan menghasilkan keuntungan, dalam jangka panjang mereka juga harus menemukan cara untuk memuaskan pegawai dan komunitasnya agar berhasil. Mereka harus tanggap terhadap lingkungan, memperhatikan hukum, memperlakukan pekerja secara adil, dan menjadi warga corporate yang baik. Dengan demikian, akan menghasilkan keuntungan yang lama bagi stakeholder-nya.
Langkah yang diperlukan untuk ditujukan pada persoalan governance yang akan memperkuat kalangan bisnis ada dua, yaitu : Pertama, petunjuk untuk pengelolaan perusahaan yang efektif harus ditetapkan disetiap Negara dalam konsultasi dengan pemimpin bisnis, akuntan publik, securities regulator, dan stakeholder lainnya. Kedua, promosi etika bisnis untuk memberikan dasar yang kuat dari corporate governance. Langkah-langkah pengelolaan perusahaan tidak berarti bila manajemen tidak memiliki kepercayaan yang sejati dan bersungguh-sungguh didalamnya, dan memahami (understanding of), dari kelakuan etika bisnis. Tujuan seharusnya adalah selalu mendorong perlakuan yang bertanggung jawab (responsible conduct) lebih daripada hanya mencegah perbuatan yang salah (misconduct). Ketiga, dengan kepemilikan pemerintah terhadap bank dan corporations di Indonesia, Thailand, Korea, dan Negara-negara lainya meningkatkan implementasi dari program reformasi ekonomi, paling tidak dalam waktu singkat, ada satu yang harus dipertanyakan : Akankah pengelolaan perusahaan menjadi lebih baik (improve) karena kepemilikan pemerintah? Akhirnya, kita harus terus menerus membuat perubahan (improvement) dalam sistem hukum kita, penyelenggara hukum, pemeriksa, dan pelaporan sesuai hukum untuk mengilhami kembali kepercayaan investor dan menopang reformasi corporate governance.

Sumber : Sutedi, Adrian. 2011. Good Corporate Governance, Edisi Pertama. Jakarta : Sinar Grafika

Nama : Prisca Natalia VS
Npm : 21209882
Kelas : 4EB04

Minggu, 21 Oktober 2012

BASEL


BASEL I
Basel I adalah suatu istilah yang merujuk pada serangkaian kebijakan bank sentral dari seluruh dunia yang diterbitkan oleh Komite Basel pada tahun 1988 di Basel, Swiss sebagai suatu himpunan persyaratan minimum modal untuk bank. Rekomendasi ini dikukuhkan dalam bentuk aturan oleh negara-negara Group of Ten (G10) pada tahun 1992. Basel I secara umum telah ditinggalkan dan digantikan oleh himpunan pedoman yang lebih komprehensif, yang disebut Basel II, yang sedang diterapkan oleh beberapa negara.

BASEL II
Basel II adalah rekomendasi hukum dan ketentuan perbankan kedua, sebagai penyempurnaan Basel I, yang diterbitkan oleh Komite Basel. Rekomendasi ini ditujukan untuk menciptakan suatu standar internasional yang dapat digunakan regulator perbankan untuk membuat ketentuan berapa banyak modal yang harus disisihkan bank sebagai perlindungan terhadap risiko keuangan danoperasional yang mungkin dihadapi bank.
Pendukung Basel II percaya bahwa standar internasional seperti ini dapat membantu melindungi sistem keuangan internasional terhadap masalah yang mungkin timbul sewaktu runtuhnya bank-bank utama atau serangkaian bank. Dalam praktiknya, Basel II berupaya mencapai hal ini dengan menyiapkan persyaratan manajemen risiko dan modal yang ketat yang dirancang untuk meyakinkan bahwa suatu bank memiliki cadangan modal yang cukup untuk risiko yang dihadapinya karena praktik pemberian kredit dan investasi yang dilakukannya. Secara umum, aturan-aturan ini menegaskan bahwa semakin besar risiko yang dihadapi bank, semakin besar pula jumlah modal yang dibutuhkan bank untuk menjaga likuiditas bank tersebut serta stabilitas ekonomi pada umumnya.
Basel II mengusung konsep "tiga pilar" yaitu persyaratan modal minimum, tinjauan pengawasan, serta pengungkapan informasi. Basel I sebelumnya hanya memperhatikan sebagian dari masing-masing pilar ini. Misalnya, Basel I hanya memperhitungkan risiko kredit secara sederhana, mempertimbangkan sedikit risiko pasar, serta sama sekali tidak menangani risiko operasional.
Pilar pertama berkaitan dengan pemeliharaan persyaratan modal (regulatory capital) yang diperhitungkan untuk tiga komponen utama risiko yang dihadapi bank: risiko kredit, risiko pasar, serta risiko operasional. Jenis risiko lain tidak dianggap layak diperhitungkan pada tahap ini.
Risiko kredit dapat dihitung dengan tiga cara yang berbeda tingkat kerumitannya, yaitu pendekatan standar (standardized approach), Foundation IRB (internal rating-based), dan Advanced IRB. Risiko operasional dihitung dengan tiga pendekatan yaitu pendekatan dasar (basic indicator approach, BIA), pendekatan standar (standardized approach, STA), serta advanced measurement approach (AMA). Sedangkan pendekatan yang biasanya dipilih untuk perhitungan risiko pasar adalah pendekatan VaR (value at risk).
Pilar kedua menangani tanggapan pengawasan terhadap pilar pertama yang memberikan perkakas lanjut bagi pengawas. Pilar ini juga memberikan suatu kerangka kerja untuk menangani semua risiko lain yang mungkin dihadapi bank, seperti risiko sistemikrisiko pensiunrisiko konsentrasirisiko strategikrisiko reputasirisiko likuiditas, serta risiko hukum, yang digabungkan menjadirisiko residu.
Pilar ketiga memperbesar pengungkapan yang harus dilakukan bank. Ini dirancang untuk memberikan gambaran yang lebih baik bagi pasar mengenai posisi risiko menyeluruh bank dan untuk memberikan kesempatan bagi pihak terkait dari bank untuk memberikan harga dan menangani risiko tersebut dengan sepantasnya.

BASEL III

Dalam Basel III, perbankan diharuskan mencadangkan modal berkualitas tinggi (core tier-1) sebesar 4,5% dari asetnya. Peraturan ini berlaku Januari 2015. Ditambah 2,5% modal bantalan, jika terjadi guncangan, sehingga menjadi 7% pada 2016. Eko B. Supriyanto

Tujuan pembentukan Basel III yaitu untuk memperkuat peraturan, pengawasan, dan manajemen risiko melalui kaji ulang pengukuran yang lebih komprehensif dalam sektor perbankan. Dengan begitu diharapkan dapat lebih meningkatkan kemampuan bank dalam menghadapi guncangan yang timbul dari tekanan sektor keuangan dan ekonomi.

Perbankan Indonesia sepertinya memasuki lorong konsolidasi yang tiada henti-hentinya. Sejak 1988, terutama sejak krisis perbankan 1998, perbankan kita terus memasuki masa-masa konsolidasi.

Sepuluh tahun kemudian, belajar dari krisis global 2008, perbankan Indonesia mau tidak mau ikut menyesuaikan diri dengan kebijakan baru, yaitu lahirnya Basel III menyusul Basel II dan Basel I yang telah ada sebelumnya.

Kebijakan Basel Committee on Banking Supervision tahap ketiga (Basel III) yang diusulkan para pemimpin 19 negara maju dan berkembang ditambah Uni Eropa (G-20) ini tentu akan membuat industri perbankan global berubah. Sebab, inti dari kebijakan Basel III ini tak lain, bank-bank harus memperkuat permodalan dan menjaga likuiditasnya.

Dalam perjalanan menyangkut permodalan yang tertuang dalam Basel, bisa dilacak, sejak 1988 Bank for International Settlements (BIS) mengeluarkan konsep kerangka permodalan yang lebih dikenal dengan sebutan The 1988 Accord (Basel I).

Sistem ini dibuat sebagai penerapan pengurangan risiko kredit dengan syarat capital adequacy ratio (CAR) tidak boleh kurang dari 8%. Atau, dengan bahasa sederhana, bank-bank diharapkan memisahkan eksposurnya.

Sejalan dengan berkembangnya produk-produk perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka permodalan yang ada pada 1988 dengan Basel II Accord-nya.

Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar Basel I yang memberikan kerangka penghitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive). Tidak hanya itu, tapi juga memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas manajemen risiko di bank.

Kerangka Basel II ini mencoba mendekatkan dua kepentingan, yaitu ketentuan permodalan yang ditetapkan oleh otoritas pengawasan (regulatory capital) dengan penghitungan permodalan secara ekonomi (economic capital). Penerapan Basel II ini diharapkan akan selesai pada 2012.

Nah, sebelum 2012, krisis telah mengacaukan perbankan dunia. Bank-bank kembali dibelokkan arahnya. Bank-bank harus kembali ke “khitah”-nya dengan memberikan kredit yang didukung modal dan likuiditas yang memadai. Semua ini masuk dalam konsolidasi di Basel III.

Dalam Basel III, perbankan diharuskan mencadangkan modal berkualitas tinggi (core tier-1) sebesar 4,5% dari asetnya. Peraturan ini berlaku Januari 2015. Ditambah 2,5% modal bantalan, jika terjadi guncangan, sehingga menjadi 7% pada 2016. Selain itu, masih ditambah dengan modal bantalan dengan kisaran hingga 2,5% pada 2019.

Pendek kata, kesepakatan ini merupakan usaha untuk memperkuat standar modal perbankan dunia. Dengan kesepakatan tersebut, perbankan akan diharapkan menjalankan bisnisnya secara hati-hati dan tak berisiko tinggi sehingga terhindar dari krisis ekonomi yang bisa terjadi kapan saja. Dalam pemberian kredit, bank-bank diharapkan senantiasa didukung oleh modal inti yang kuat.

Nah, jika melihat kesiapan yang didasarkan pada angka-angka, setidaknya perbankan masih relatif aman. Hanya Badan Moneter Internasional (International Monetary Fund atau IMF) yang memperkirakan perbankan akan ambruk dengan non performing loan(NPL) sebesar 31,5% pada kuartal pertama 2011.

Perkiraan IMF itu sungguh tidak masuk akal dan perlu dicurigai mempunyai agenda karena metodologinya sudah cacat dengan memperkirakan NPL perbankan bakal ambruk. 

Perbankan Indonesia diperkirakan relatif masih bisa menyesuaikan dengan Basel III karena modal inti perbankan Indonesia masih dalam kisaran 13%-14% atau masih dalam posisi jauh lebih aman.

Kendati demikian, masih tetap diperlukan kehati-hatian, terutama menyangkut potensi pemburukan ekonomi global, meskipun melihat pengalaman krisis 2008, ekonomi Indonesia masih relatif aman.

Basel III ini boleh jadi merupakan koreksi dari kondisi perbankan global semata. Perbankan Indonesia setidaknya tidak terpengaruh, kendati bank-bank perlu menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Kebijakan kredit perbankan pun lebih hati-hati dengan modal yang memadai.

Untuk itu, ekspansi kredit perbankan tidak bisa dipaksa-paksa. Hari-hari ini bank-bank di Indonesia terkena tekanan untuk melakukan ekspansi kredit dan ikut menjaga ekses likuiditas.

Hal itu terkait dengan kebijakan kenaikan giro wajib minimum (GWM) primer menjadi 8% yang dihubungkan dengan loan to deposit ratio (LDR) ideal 78%-100%.

Kebijakan itu ditanggapi secara beragam oleh kalangan perbankan. Ada yang menyebut, di satu sisi Bank Indonesia (BI) ingin mendorong pertumbuhan kredit dan di sisi lain BI ingin mengerem likuiditas akibat tekanan inflasi yang bisa berakibat buruk bagi stabilitas moneter.

Bank-bank dengan LDR rendah tentu merasa terkena dampak kebijakan ini. Selain harus meningkatkan biaya dana-dana (cost of funds), mereka harus menyediakan dana tambahan. Bank-bank besar, seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Mandiri, juga terkena dampak kebijakan ini.

Sementara, yang LDR-nya sudah tinggi setidaknya lebih diuntungkan. Namun, mereka akan menghadapi persaingan yang lebih ketat karena bank-bank besar tentu tidak mau kehilangan keuntungan—dengan demikian suku bunga juga akan mendaki.

Kebijakan GWM dan LDR ini sebenarnya lebih banyak untuk kepentingan BI, terutama menyangkut biaya moneter yang terlewat besar dengan BI Rate 6,5%, yang masih tetap gurih bagi bank-bank. 

Terlepas dari masalah itu, apakah saat ini perbankan sedang ekspansi atau konsolidasi, boleh jadi kita perlu merenungkan ucapan seorang bankir senior. Menurut dia, sejatinya sejak 1988 perbankan nasional selalu melakukan konsolidasi. Lepas dari konsolidasi yang satu, masuk ke konsolidasi yang baru. Ibaratnya, konsolidasi tiada akhir.


Nama   : Prisca Natalia VS
Npm    :21209882
Kelas   : 4EB04